PENGENALAN TAKHRIJ SECARA
TEORI
Disusun Untuk
Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Hadis
Dosen Pembimbing : Syarifuddin
M.Ag.
Disusun Oleh
Sarianti
1202120172
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
TAHUN 2013 M
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah dua
sumber hukum islam yang menjadi pegangan hidup umat Islam. Yang mana posisi As-Sunah menempati urutan kedua sesudah Al-Qur’an karena disamping sebagai ajaran Islam yang
secara langsung terkait dengan keharusan mentaati
Rasulullah Saw, juga karena fungsinya sebagai penjelas bagi ungkapan-ungkapan Al-Qur’an yang masih bersifat global. Hadis terjaga dengan adanya sanad hadits. Dengan sanad
itulah para ulama ahli hadis dapat membedakan
manakah hadis shahih, hadis dhaif dan hadis maudhu’. Bagi
seorang peneliti, kegiatan takhrijul hadis sangat penting, karena tanpa
kegiatan takhrijul hadis terlebih dahulu, maka akan sulit diketahui asal
usul riwayat hadis yang akan diteliti.
Suatu hadis akan sangat
sulit diteliti status dan kualitasnya bila terlebih dahulu tidak diketahui asal
usulnya. Tanpa diketahui asal usulya, maka sanad dan matan hadis yang
bersangkutan sulit diketahui susunannya menurut sumber pengambilannya. Tanpa
diketahui susunan sanad dan matannya secara benar, maka
hadis akan sulit diteliti secara cermat. Hadis yang diteliti mungkin memiliki
lebih dari satu sanad. Mungkin saja salah satu sanad hadis itu
berkualitas dhaif, sedang yang lainnya berkualitas shahih. Untuk
dapat menentukan sanad yang berkualitas dhaif dan yang
berkualitas shahih, maka harus diketahui terlebih dahulu seluruh riwayat
hadis yang bersangkutan maka tahkrij perlu dilakukan terlebih dahulu.[1]
Ketika hadis diteliti salah
satu sanadnya, mungkin ada periwayat lain yang sanadnya mendukung
pada yang sedang diteliti. Dukungan itu bila terletak pada bagian tingkat
pertama, yakni sanad tingkat sahabat Nabi disebut sebagai syahid.
Sedangkan bila terdapat dibagian bukan tingkat sahabat disebut sebagai mutabi.
Dalam penelitian sebuah sanad, syahid yang didukung sanad yang
kuat dapat memperkuat sanad yang diteliti. Begitu pula mutabi
yang memiliki sanad yang kuat, maka sanad yang diteliti mungkin
dapat ditingkatkan kekuatannya oleh mutabi tersebut. Untuk mengetahui
suatu sanad memiliki syahid atau mutabi, maka seluruh sanad
harus dikemukakan. Maka takhrijul hadis harus dilakukan terlebih dahulu.[2]
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari
Takhrij Al-Hadits?
2. Bagaimana sejarah
Takhrij Al-Hadits?
3. Bagaimana metode dalam Takhrij Al-Hadits?
4. Apa tujuan dan manfaat
dari Takhrij Al-Hadits?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian
dari Takhrij Al-Hadits.
2. Mengetahui bagaimana
sejarah Takhrij Al-Hadits.
3. Mengetahui bagaimana
metode dalam Takhrij Al-Hadits.
4. Mengetahui
seperti apa tujuan dan manfaat dari Takhrij
Al-Hadits.
D. Kegunaan Penulisan
1. Kegunaan teoritis yaitu mengembangkan ilmu
pengetahuan khususnya tentang pengenalan
Takhrij secara teori.
2. Kegunaan praktis yaitu menjadi khazanah
keilmuan bagi mahasiswa yang mempelajari Ulumul Hadis.
E. Batasan Masalah
Mengingat banyaknya masalah yang membahas menganai
uraian masalah di atas, maka penulis membatasi pembahasan tentang makalah ini
sesuai dengan yang terdapat dalam rumusan masalah di atas. Adapun hal yang
tidak termasuk dalam pembahasan diatas, penulis tidak meuraikannya.
F. Metode Penulisan
Adapun metode yang digunakan dalam penulisan yaitu
hasil telaah kepustakaan dan survey internet, yang mana dalam
penulisan makalah ini penulis menggunakan buku-buku perpustakaan dan hasil
pencarian di internet sebagai bahan referensi dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Takhrij Al-Hadits
Kata takhrij secara bahasa mempunyai beberapa
makna, takhrij berasal dari kata kharaja yang artinya nampak dari
tempatnya, atau keadaannya, dan terpisah dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj yang artinya menampakkan dan
memperlihatkan, dan al-makhraj yang
artinya tempat keluar, dan akhraja
al-hadits wa kharrajahu yang artinya menampakkan dan memperlihatkan hadis
kepada orang yang menjelaskan tempay keluarnya.[3]
Pengertian takhrij menurut istilah yang biasa
dipakai oleh ulama hadis mempunyai beberapa arti, yaitu:[4]
1) Mengemukakan
hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis itu
dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
2) Ulama hadis
mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis, atau
berbagai kitab, atau lainnya, yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya
sendiri, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau
karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3) Menunjukkan
asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab
hadis yang disusun oleh para mukhtatij-nya
langsung (yaitu para periwayat yang juga sebagai penghimpun bagi hadis yang
mereka riwayatkan).
4) Mengemukakan
hadis berdasarkan sumbernya, yakni kitab-kitab hadis yang didalamnya disertakan
metode periwayatannya dan sanad-nya
masing-masing, serta diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas
hadisnya.
5) Menunjukkan letak
asal hadis pada sumbernya yang asli, yaitu berbagai kitab yang di dalamnya
dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sanad-nya
masing-masing. Kemudian untuk kepentingan penelitian dijelaskan kualitas hadis
yang bersangkutan.
Takhrij adalah menunjukkan atau
mengemukakan letak asal hadis pada sumber-sumbernya yang asli yang di dalanya
dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, keudian
manakala diperlukan, dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan.
B. Sejarah Takhrij
Al-Hadits
Pada mulanya,
menurut Al-Thahan, ilmu takhrij tidak dibutuhkan oleh para ulama dan peneliti
hadis karena pengetahuan mereka tentang sumber hadis ketika itu sangat luas dan baik. Hubungan mereka dengan
sumber hadis juga kuat sekali, sehingga apabila mereka menjelaskan sumber hadis tersebut dalam
berbagai kitab hadis, yang mana metode dan cara-cara penulisan kitab-kitab
tersebut mereka ketahui. Dengan kemampuan yang mereka miliki, mereka dengan
mudah dapat menggunakan dan mencari sumber dalam rangka men-takhrij hadis. Bahkan, apabila di
hadapan seorang sumber aslinya, ulama tersebut dengan mudah dapat menjelaskan
sumber aslinya.[5]
Ketika para ulama
mulai merasa kesulitan untuk mengetahui sumber dari suatu hadis, yaitu setelah
berjalan beberapa periode tertentu dan setelah berkembangnya karya-karya ulama
dalam bidang fikih, tafsir dan sejarah yang memuat hadis-hadis Nabi saw, yang
kadang-kadang tidak menyebutkan sumbernya, maka ulama hadis terdorong untuk melakukan takhrij terhadap karya-karya tersebut.
Pada saat itu muncullah kitab-kitab takhrij.
Kitab yang pertama muncul adalah karya Al-Kathib
Al-Baghdadi, namun yang terkenal adalah Takhrij
Al-Fawaid Al-Muntakhabah Al-Shihah wa Al-Ghara’ib karya Syarif Abi Al-Qasim
Al-Husaini, Takhrij Al-Fawaid
Al-Muntakhabah Al-Shihah wa al-Ghara’ib karya Syarif Abi Al-Qasim
Al-Muhammad ibn Musa Al-Hazimi Al-Syafii. Kitab Al-Muhdzdzab sendiri adalah
kitab fikih mazhab Syafi’i yang yang disusun oleh Abu Ishaqa Al-Syirazi.[6]
Usaha para ulama hadis pada akhirnya
menghasilkan berbagai macam tentang
prinsip-prinsip dan tata aturan takhrij,
yang secara generatif melahirkan berbagai macam karya tulis yang kelak dinamai “Kutub
al-Takhrij”, kitab-kitab yang tidak hanya berhasil mengembalikan matan
pada transmisinya, tetapi pula menjelaskan aspek orisinalitas dan kualitas
redaksional, bahkan bila dianggap diperlukan menerangkan pula kualitas
transmisinya.
Secara kronologinya proses takhrijul Hadis dalam perkembangannya
melalui fase-fase berikut:
a. Penyebutan hadis-hadis dengan sanad-nya
masing-masing. Terkadang pengarang menitik beratkan pada masalah sanad atau terkadang pada masalah matan.
b. Penyebutan
hadis-hadis dengan sanad milik
sendiri yang berbeda dengan suatu kitab terdahulunya. Sanad-sanad pada kitab kedua ini menambah kekuatan hukum tentang sanad kitab pertama dan dapat menambah
redaksi matan.
c. Setelah
sunnah-sunnah Nabi terkempul dalam kitab-kitab
besar, pengertian Takhrijul berarti
penisbatan riwayat hadis kepada
kitab-kitab yang ada beserta penjelasan kriteria-kriteria hukum hadis-hadis
tersebut. Oleh karena itu pada masa kini dapat kita temui kitab-kitab takhrijul hadits tentang fiqih, tafsir,
bahasa, tasawuf, dan lain sebagainya.[7]
Kitab-kitab induk
hadis yang ada mempunyai susunan tertentu dan berada antara satu dan yang
lainnya, yang dalam hal ini memerlukan cara tertentu secara ilmiah agar
penelitian dan pencarian hadisnya dilakukan dengan mudah. Cara praktis dan
ilmiah inilah yang merupakan kajian pokok ilmu takhrij.[8]
Menurut Mahdi, ilmu
takhrij pada awalnya adalah berupa
tuturan yang belum tertulis,. Hal ini dimaksudkannya sebelum munculnya kitab-kitab takhrij seperti Takhrij Al-Fawa’id
Al-Muntakhabah karya Abu Qasim Al-Husayni, Takhrij Al-Muhadzdzab karangan
Muhammad ibn Musa Al-Hazimi Al-Syafi’i, seperti yang telah disebutkan tadi.[9]
C. Metode Takhrij
Al-Hadits
Ada
lima metode
atau cara yang dapat
dipergunakan dalam men-takhrij
suatu hadis
yang mana masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangannya tersendiri, namun tujuan
akhir takhrij dengan metode-metode
itu tetap sama, yaitu menentukan letak suatu hadis dan menentukan kualitasnya
bila diperlukan.
Takhrij dengan metode ini dapat dilakukan dengan terlebih
dahulu mengetahui secara pasti perawi pertamanya dikalangan sahabat. Langkah pertama dari metode ini yaitu mengenal
nama perawi pertama dari hadis yang akan di-takhrij.
Berikutnya yaitu mencari nama perawi yang diinginkan dari kitab-kitab Al-Athraf atau Musnad. Bila nama perawi
pertama yang dicari telah ditemukan, kemudian cari hadis yang diinginkan di
antara hadis-hadis yang tertera dibawah nama perawi tersebut, maka akan diketahui ulama hadis yang
meriwayatkannya.
Kitab yang digunakan dalam metode in adalah kitab Al-Athraf atau Musnad. Al-Athraf adalah himpunan hadis yang berasal dari kitab
induknya di mana yang dicantumkan hanyalah bagian potongan hadis dari hadis yang
diriwayatkan oleh sahabat atau tabiin.
Contoh kitab Athraf adalah
kitab Athraf Al-Shahihan karya Abu
Mas’ud Ibrahim ibn Muhammad Al-Dimasyqi. Musnad
adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat yang
meriwayatkannya. Di antara kitab musnad
tersebut adalah kitab musnad karya
Imam Ahmad ibn Hanbal, karya Abu Bakar ‘Abdullah ibn Al-Zubair Al-Humaidi dan
karya Abu Daud Al-Tayalisi.
Kelebihan metode ini adalah mudah dan cepat menemukan sahabat yang meriwayatkan
hadis karena sistematikanya berdasarkan alfabetis hijaiyah. Sedangkan
kekurangannya adalah membutuhkan waktu yang lama untuk menemukan hadis yang
dicari, jika shabat tersebut banyak meriwayatkan hadis.
Dalam metode ini, langkah pertama yang dilakukan pen-takhrij yaitu menghimpun lafaz pertama
hadis berdasarkan huruf hijaiyah. Setelah pen-takhrij mengetahui lafaz pertama yang terletak dalam hadis
tersebut, lalu mencari lafaz tersebut dalam kitab-kitab takhrij yang disusun sesuai metode ini berdasarkan huruf pertama,
kedua dan seterusnya.
Kitab yang dapat digunakan untuk mentakhrij dengan
metode ini adalaha Al-Jami’ Al-Kabir karya
Imam Suyuthi, Al-Jami’ Al-Azhar karya
Al-Manawi, Al-Jami Al-Shaghir Min Hadits
Al-Basyir Al-Nazhir karya Jalaluddin Al-Suyuthi. Yang dalam kitab tersebut
Jalaluddin menghimpun dan menyusun hadis-hadis yang diatur berdasarkan huruf
hijaiyah.
Kelebihan metode ini adalah meskipun tidak hafal
secara keseluruhan matan hadis, dengan lafaz pertama saja dapat dengan cepat
menemukan hadis yang dicari. Sedangkan kekurangannya, jika lafaz yang dianggap
awal hadis bukan awalnya, maka sulit ditemukan.
Men-takhrij
hadis dengan metode ini dapat menggunakan kitab Al-Mu’jam Al-Ufahras li Alfadz Al-Hadits Al-Nabawi karya A.J.
Wensinck yang diterjemahkan oleh Muhammad Fuad ‘Abd Al-Baqi. Kitab ini merujuk
kepada 9 kitab hadis yang menjadi sumber pokok hadis (kitab induk) yitu kutub al-Sittah, al-Muwaththa’, Musnad Imam
Ahmad, dan Musnad al-Darimi.
Langkah-langkah penggunaan metode ini adalah:
a) Mencari kata-kata tertentu dalam hadis yang akan di-takhrij, namun kata-kata ini haruslah
kata-kata yang berupa isim dan fiil. Dan tidak bias men-takhrij dengan kata-kata huruf.
b) Dalam mencari kata pada hadis yang akan di-takhrij, hendaknya dicari kata-kata yang
paling asing asing. Karena semakin asing kata tersebut, semakin mudah pula
proses pen-takhrij annya.
c) Setelah kita dapatkan kata tersebut, maka langkah
selanjutnya kita perlu menemukan kata dasar dari kata yang akan kita gunakan,
bila kata tersebut bukan merupakan kata dasar. Demikian juga dengan isimnya,
perlu kita temukan bentuk mufrad dan
asal katanya.
d) Setelah kita ketahui kata dasarnya, lalu merujuk
kepada kitab takhrij yang menggunakan
metode ini, yaitu kitab Al-Mu’jam
Al-Mufahras li Alfadh Al-hadits An-Nabawy.
e) Jadi, kita tinggal merujuk pada keterangan yang
diberikan oleh kitab mu’jam tersebut
dalam kitab-kitab hadis yang ditunjukkan.
Salah satu kelebihan dari metode ini adalah mempercepat
pencarian hadis. Sedangkan kekurangannya adalah pen-takhrij harus memiliki kemampuan berbahasa arab beserta
perangkat-perangkat ilmunya, karena metode ini menuntut untuk mengembalikan
kata kuncinya kepada kata dasar.
Di antar kitab-kitab yang dapat membantu kegiatan takhrij dengan metode ini adalah Miftah Kunuz Al-Sunnah, Al-Jawami’
Al-Shahih, Al-Mustadrak’ala Shahihain, Jam’u Al-Fawaid min Jam’I al-Ushul wa
Majma’ Al-Zawaid.
Kelebihan metode ini adalah mendidik ketajaman pemahaman
terhadap hadis pada diri pen-takhrij,
memperkenalkan pen-takhrij dengan
hadis-hadis lain yang senada dengan hadis yang dicari. Sedangkan kelemahannya
adalah terkadang kandungan hadis itu sulit disimpulkan oleh pen-takhrij sehingga tidak dapat ditentukan
topiknya, terkadang pemahaman pen-takhrij
tidak sesuai dengan pemahaman penyusun kitab.
Untuk men-takhrij
hadis dengan metode ini, kita harus menentukan dulu status hadis tersebut,
misalnya hadis mutawattir, hadis qudsi, dan selainnya. Apabila sudah kita
tentukan baru kita melacaknya pada kitab-kitab yang memuat hadis tersebut
berdasarkan statusnya. Melalui kitab-kitab tertentu, para ulama berupaya
menyusun hadis-hadis berdasarkan statusnya seperti hadis qudsi, masyhur, mursal
dan selainnya.
Kelebihan metode ini adalah dapat memudahklan proses takhrij karena hadis-hadis yang
diperlihatkan berdasarkan statusnya jumlahnya sangat sedikit dan tidak rumit.
Meskipun demikian, kekurangannya tetap ada yaitu terbatasnya kitab-kitab yang memuat
hadis menurut statusnya. Di antara kitab yang disusun menurut metode ini adalah
Al-azhar Al-Mutanatsirah Al-Qudsiyah
karya Al-madani yang memuart hadis-hadis qudsi, Al-Maqashid Al-Hasanah karya Sakhawi yang memuat hadis-hadis
populer, Al-Marasil karya Abu Daud yang
memuat hadis-hadis mursal, Tanzih
Al-syari’ah Al-Marfu’ah Al-Akhbar
Al-Syani’ah Al- Maidlu’ah karya Ibn Iraq yang memuat hadis-hadis maudhu’ dan lainnya.
D.
Tujuan dan Manfaat Takhrij Al-Hadits
Menurut ‘Abd Al-Mahdi yang menjadi tujuan dari takhrij adalah menunjukkan sumber hadis
damn menerangkan ditolak atau
diterimanya hadis tersebut. Dengan demikian ada dua hal yang menjadi
tujuan takhrij, yaitu:
1. Untuk mengetahui sumber dari suatu hadis.
2. Untuk mengetahui kualitas dari suatu hadis apakah
dapat diterima atau ditolak.[15]
Di antara manfaat-manfaat takhrij yaitu:
1. Memberikan informasi bahwa suatu hadis termasuk hadis
shahih, hasan, ataupun dha’if, setelah diadalkan penelitian dari segi matan
maupuin sanadnya
2. Memberikan kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan
setelah tahu bahwa suatu hadis adalah hadis maqbul (dapat diterima) dan
sebaliknya tidak mengamalkannya apabila diketahui bahwa suatu hadis adalah
mardud (ditolak).
3. Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadis adalah
benar-benar berasal dari Nabi saw, yang harus kita ikuti karena adanya
bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadis tersebut, baik dari segi sanad
maupun matannya.[16]
4. Memperkenalkan sumber-sumber hadis, kitab-kitab asal
dari suatu hadis beserta ulama yang meriwayatkannya.
5. Memperjelas hukum hadis dengan banyaknya riwayatnya,
seperti hadis dhaif melalui riwayat,
maka dengan takhrij kemungkinan akan
didapati riwayat lain yang akan mengangkat status hadis tersebut kepada drajat
yang lebih tinggi.
6. Memperjelas perawi hadis yang samar, dengan adanya
takhrij dengan adanya takhrij akan diketahui nama perawi yang sebenarnya secara
lengkap.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah takhrij dalam ilmu hadis mengalami
perkembangan dengan pengertian yang berbeda-beda. Namun penulis dapat menyimpulkan
bahwa takhrij adalah menempatkan hadis pada
sumber aslinya yang mengeluarkan hadis tersebut dengan sanad-nya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.
Takhrij
Hadits
sebagai bagian dari ilmu hadis yang merupakan hasil
usaha dari
ulama terdahulu yang menjadi bagian dari khazanah intelektual
dan keilmuan yang harus kita lestarikan dan kita kembangkan.
Adapun metode-metode yang digunakan
dalam takhrij yaitu takhrij melalui periwayat pertama, takhrij melalui lafadz pertama matan hadis, takhrij melalui penggalan kata-kata yang ada pada matan hadis, takhrij berdasarkan topik hadis dan takhrij berdasarkan
status hadis yang mana metode-metode tersebut dengan memiiki kekurangan dan
kelebihannya pada masing-masing, metode yang saling melengkapi antara metode
yang satu dengan yang lainnya dalam proses penelusuran hadis.
Takhrij al-hadits bertujuan
untuk mengetahui sumber dari suatu hadis dan untuk
mengetahui kualitas dari suatu hadis apakah dapat diterima atau ditolak.
Kegiatan takhrij sangat banyak
memberikan manfaat sebagai mana yang telah disebutkan dalam pembahasan
sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung: CV PustakA Setia, cet III, 2004.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’, (penerjemah
Mifdhol Abdurrahman), Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar, cet I, 2005.
M. Syuhudi Ismail, M. Syuhudi , Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta
: Bulan Bintang, cet I, 1992.
Rofiah,
Khusniati , Studi Ilmu Hadits, Yogyakarta:
STAIN PO Press, 2010.
Sahrani, Sohari,
Ulumul Hadits, Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010.
file:///D:/makalah%20uluml/takhrij-al-hadis-secara-teoritis-dan_2775.html, di
akses pada 01 Mei 2013.
[1]M.
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian
Hadis Nabi, Jakarta : Bulan Bintang, cet I, 1992, hlm. 44.
[3] Syaikh
Manna’ Al-Qaththan (penerjemah Mifdhol Abdurrahman), Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, cet
I, 2005, hlm. 189.
[7]file:///D:/makalah%20uluml/takhrij-al-hadis-secara-teoritis-dan_2775.html, di akses pada 01 Mei 2013.
[8]Sohari
Sahrani, Ulumul Hadits….hlm. 189.
[16] Muhammad
Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung:
CV PustakA Setia, cet III, 2004, hlm. 132.